Senin, 09 Juni 2008

FILM NASIONAL YANG RINDU PERLINDUNGAN HAK CIPTA

Era tahun 80 an, Perfilman Indonesia dengan segenap kebanggaannya sempat menjadi tuan rumah di negaranya sendiri, di mana pada saat itu film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal yang jumlahnya lebih dari 1000 gedung bioskop di seluruh Indonesia.
Hal tersebut sebagai dampak positif atas campur tangannya pemerintah dalam hal ini Departemen Penerangan RI dengan dukungan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga Menteri (Deppen, Depdagri dan Deperdag), yang mencanangkan wajib putar disetiap bioskop di seluruh Indonesia, dengan sedikitnya atau minimal 2 ( dua ) kali dalam sebulan untuk memutar Film nasional (Film Indonesia).
Bahkan kewajiban memutar Film Nasional tersebut dikenakan pada setiap akhir minggu (week end) dimana penonton sedang ramai-ramainya, dengan ketentuan penayangan pada setiap hari kamis untuk minggu diawal bulan dan setiap hari jum’at untuk penayangan pada minggu diakhir bulan.
Hebatnya lagi, tiap bioskop diwajibkan mematuhi yang namanya TOF (Take Over Figure) dan HOF (Hold Over Figure), sebagai standar minimal jumlah penonton, dimana Bioskop mesti melanjutkan pemutaran Film Nasional tersebut selama jumlah penontonya diatas standar. Maklumlah karena pada waktu itu bioskop memang sebagai satu-satunya tempat ekshibisi film yang sangat diandalkan selain layar tancap (bioskop keliling) dan televisi ( yang hanya baru beberapa stasiun saja).
Lebih hebatnya lagi SKB tersebut mendapat dukungan dari semua insan perfilman dan masyarkat pelaku bisnis dibidang film dengan dibuktikannya dalam KESEPAKATAN BERSAMA - PARA ASOSIASI DI BIDANG PERFILMAN
Lebih semakin hebatnya lagi, pada waktu itu Pemerintah RI punya keberanian membatasi masuknya (importasi) film – film asing ke Indonesia. Misalnya film – film Amerika yang hanya boleh di import sebanyak 35 Judul film pertahun, begitu juga untuk film-film Mandarin, Asia Non Mandarin dan Film-film Eropa.
Bahkan para importir film asing tersebut dikenai kewajiban untuk memproduksi Film Nasional, minimal satu judul setahun. Maka tidak mengherankan kalau di era tahun 80 an, produksi layar lebar Film Nasional kita mencapai 150 Judul per tahun.
Luar Biasa memang. Dan sempurnalah perlindungan terhadap Perfilman Nasional sebagai Pagar Budaya Bangsa.

Era tahun 90 an, seiring dengan bergesernya tampuk kepemimpinan orde baru, morat-maritnya perekonomian bangsa dan lemahnya sistim hukum nasional, mengakibakan tersungkurnya industri perfilman nasional kita dan Film Nasional memasuki tahap senin-kemis, kembang-kempis serta dinyatakan matisuri.
Disisi lain debut film-film asing terus melakukan penetrasi yang kuat, menusuk jauh kedalam kesemua sendi-sendi industri perfilman di Indonesia, bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan.
Film-film barat, Mandarin dan India, merajai semua media perfilman dan segmen – segmen pasar serta sarana publikasi yang ada. Bahkan para artis manca Negara tersebut menjadi idola yang didewa-dewakan oleh banyak penggemar film di Indonesia.
Bangkrutnya usaha perbioskopan hingga jumlah bioskop yang mampu bertahan tidak lagi mencapai 100 gedung bioskop diseluruh Indonesia (dari 1000 gedung lebih), hal itu bisa saja diakibatkan oleh menjamurnya stasiun-stasiun televisi swasta. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi adalah nyaris 80 % film-film yang ditayangkan oleh stasiun televisi tersebut, adalah film-film asing.
Lebih mengerikan lagi, diakhir 90 an, pasar film dikuasi oleh maraknya peredaran Lasser Disc dan VCD, yang berasal dari import illegal, yang sudah barang tentu LD dan VCD tersebut tidak pernah di sensor.
Maka lengkaplah duka derita ibu pertiwi yang diporak poranda oleh pengaruh-pengaruh budaya asing

Era tahun 2000 an, Bioskop nyaris tidak bisa diharapkan lagi, stasiun – stasiun televisi swasta non komersial bermunculan, CD/VCD/DVD bajakan berserakan, Distributor dan Produser Film gulung tikar, masyarakat perfilman nasional kita sekarat bergelimpangan, secara umum industri film ditanah air telah lumpuh tak berdaya.
Mau nonton film baru yang hari ini baru diputar di bioskop-bioskop di Amerika, kita tinggal ke rental-rental VCD/DVD atau keseberang jalan, menemui pedagang kaki lima dan pilih-pilih kemudian beli VCD/DVD Film bajakan yang murah dan tidak disensor.
Lewat bantuan tangan-tangan hukum, pada pertengahan tahun 2000, Asirevi bekerjasama dengan pihak kepolisian, melaksanakan operasi besar-besaran, penegakkan hukum dibidang Hak cipta yang sasarannya adalah Glodok, Jakarta Barat dan pasar bajakan lainnya dikota-kota besar diseluruh Indonesia.
Kerja keras yang dimulai ini diikuti dengan menggebrak pasar penjaualan original VCD Film Nasional produksi lama dengan harga murah yang relatif terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Pengenalan dan pendekatan serta penyuluhanpun dilakukan Asirevi kepada semua pihak, baik aparatur penegak hukum maupun pengusaha dibidang VCD / DVD, dari mulai Produser/distributor, pabrik-pabrik VCD hingga ke toko-toko VCD/DVD.
Ternyata usaha tersebut mendapat tempat dan perhatian yang cukup baik untuk sama-sama menjaga dan membenahi keterpurukan yang terjadi pada Film Nasional. Hal ini dibuktikan dengan semakin sedikitnya peredaran dan penjualan film-film nasional bajakan dalam bentuk VCD/DVD.
Film nasionalpun mulai mendapat tempat dihati para penontonnya untuk pergi menonton ke Bioskop saja atau membeli VCD/DVD original atau kerental-rental VCD/DVD. Disisi lain kerja keras para creator serta produserpun mulai memperlihatkan hasil, yang bahkan mampu menggarap film-film bermutu yang menarik jutaan penonton (Film: Ada Apa Dengan Cinta, Eiffel I’m in love, Sinetron: Kiamat Sudah Dekat dll)
Kerja keras para sineas dan masyarakat perfilman serta Asirevi dalam menegakkan hukum bersama-sama dengan pihak kepolisian RI, ternyata kembali di uji oleh pesatnya perkembangan teknologi di Bidang optical disc (VCD/DVD). Dimana perangkat (DVD drive), untuk mereplikasi VCD/DVD Film menjadi begitu murah dan mudahnya, canggih serta berkecapatan tinggi untuk melakukan replikasi dengan bahan – bahan yang juga sangat murah (CDR atau DVDR / CD Kosong).
Walaupun usaha pihak Asirevi bersama-sama dengan Kepolisian terus-menerus ditingkatkan. Alhasil, lihat saja film VCD Ayat-Ayat Cinta, dan film-film nasional lainnya yang sudah mulai bertaburan di pasar pembajakan. Sebagian masih sembunyi-sembunyi, akan tetapi sebagian lagi sudah berani-berani.
Kami penuh berharap kepada seluruh masyarakat, agar memiliki kecintaan yang dalam terhadap Film Nasional dan bersama-sama membantu pihak penegak hukum untuk menekan serta melarang peredaran VCD/DVD Film Nasional Bajakan. Setidaknya sampaikan kepada kami nama-nama dan toko atau tempat penjualan VCD/DVD Film Nasional Bajakan.

Maka di...
Era tahun 2010 an adalah era kebangkitan Film Nasional ……………………
Terima kasih kepada semua pihak yang hingga saat ini tetap cinta kapada Film Nasional
---rully---